Cinta Tak Pernah Tua: Puisi atau Cerpen?


"SUNGGUH, aku merinduinya. Rindu ini umpama subuh mengkhitbah bukit dengan cincin embunnya. Gunung, laut, dan lembah, yang melempar kami ke titik entah, justru mengantarku ke senja yang memayungi pinang-pinang merah;

ketika kupungut butir-butir nasihat kehidupan darinya, kubawa ke kota yang jauh daru kelebatan baju kurungnya. Tanpa disadari, telah kuperam semua. Dan kini, di senja yang tak lagi ibu, butir-butir itu menetas. Kutandai mereka dengan dua nama: yang satu Kenangan, yang satu lagi Nostalgia."

Begitulah pembuka cerita pendek (cerpen) yang berjudul Senja yang Paling Ibu. Karya Benny Arnas dalam bukunya: Cinta Tak Pernah Tua. Saya kagum dengan karya-karyanya yang terkumpul dalam buku ini. Karena bagiku, Ia luar biasa dalam menuliskan cerita-cerita itu.

Bukan hanya dari segi isi cerita. Tapi aku justru lebih terkagum dengan teknik penulisannya. Menurutku, Ia mampu memadukan antara puisi dan cerpen. Seperti puisi yang dicerpenkan. Atau sebaliknya, cerpen yang dipuisikan. Begitulah. Aku menikmatinya.

Benny Arnas kerap mengawali ceritanya dengan kata-kata yang tersusun luar biasa. Pemilihan diksinya begitu pas. Begitu kaya dengan pilihan kata. Hal ini tentu bisa sebagai pemantik bagi pembaca. Untuk terus betah dan menikmati tulisan selanjutnya.

Apalagi bagi orang seperti saya. Yang senang menikmati puisi dan juga cerpen. Tentu ini sebuah karya 'out of the box'. Karena bagiku, tak cukup cerita itu ditulis sekadar cerita. Aku suka cerita yang ditulis penuh andai-andai atau imajinasi. Apalagi diksi yang digunakan, jarang dipakai sehari-hari.

Sebelumnya, karya-karya tak jauh beda memang sempat kubaca. Namun lewa buku Benny Arnas nampaknya dapat menyemangitu. Untuk menulis karya sepertinya. Teknis penulisan sepertinya. Puisi atau Cerpen? Keduanya dijadikan satu.

Buku ini sebenarnya terbitan lama. Pada 2014 silam. Namun baru saja kudapatkan. Ibarat harta karun yang kutemukan dalam sebuah pameran buku murah di Lumajang. Ya, harganya murah lebih dari separuh harga yang sebenarnya. Sebuah buku murah dengan isi yang sangat berharga.

Buku ini berisikan 12 judul cerpen milik Benny Arnas. Sebelum dijadikan satu dan terbit menjadi buku, 12 judul itu lebih dulu terbit di pelbagai media secara terpisah. Seperti di Jawa Pos dan Kompas.

Dari 12 judul yang ada, ada 3 diantaranya yang mampu memikat saya. Yakni Bunga Kecubung Bergaun Susu, Senja yang Paling Ibu, dan Cahaya dari Barat.

Bunga Kecubung Bergaun Susu menceritakan perjaka tua berusia 70 tahun. Sosok veteran yang berharap mendapat jodoh di penghujung usianya. Dan bunga kecubung yang membawanya ke sebuah mimpi bertemu dengan wanita cantik. Namun ketika terbangun, Ia kecewa betul. Merasa terhina.

Senja yang Paling Ibu adalah cerita paling kaya diksi. Sentuhan kata-kata ajaib dari penulis, mampu mengajak kita. Terbawa dalam cerita seorang ibu dengan anak angkatnya. Menjadikan kita terus teringat sosok ibu yang begitu penyayang dan rela berkorban untuk kita.

Cahaya dari Barat adalah cerita penghujung. Dan membawa kita untuk berimajinasi ke penghujung zaman: kiamat. Namun Benny Arnas menulisnya dengan sederhana. Bukan seperti buku agama. Dari sudut pandang orang terkaya, yang bertaubat dan aktifitasnya di usia senja. Diawal cerita, landai-landai saja namun di pertengahan hingga akhir. Bikin bulu kuduk merinding.

"Di belahan barat bumi yang makin tua, mentari menyapa manusia untuk terakhir kalinya. Lalu... raungan mahanyaring menyapu seantero semesta. Bumi goncang. Rumah mengertas. Gunung melayang. Gedung mengawang. Kami tidak ada apa-apanya lagi. Israfil baru saja meniup sangkakalanya. "
Cinta Tak Pernah Tua: Puisi atau Cerpen? Cinta Tak Pernah Tua: Puisi atau Cerpen? Reviewed by Fitroh Kurniadi on Maret 10, 2019 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.