Dermaga Takdir

Dermaga Takdir

Dermaga Takdir

Kini tiupan badai tak segarang musim panas lalu. Ketika aku dan perahu layarku melalang-buana di lautan menyapa satu demi satu plankton, asyik berenang dengan isak takdir yang ia bawanya bersama bias nur. Meski tersampai dengan permukaan laut sebagai pintu gerbang dan karang sebagai penghalang.

Namun kini, perahu layarku masih berselimut gentir, untuk ku bisa sampai di dermaga takdir. Yang masih jauh dalam pandang, dataran hijau dengan segenap prasasti yang terukir tulisan sajak dengan bait kata yang mengalun dengan nada gerombolan ombak menyergap pantai.

Sebuah dermaga takdir di penghujung ku tuju, dalam dataran yang melingkar rangkul pulau kecil. Hijau terpandang, dengan gunung harapan dan kematian tinggi setengah menjulang, tanpa bara api dan abu keabuan. Namun sepertinya gemuruhnya masih terisak ketika malam jelang alunan shubuh berkumandang. Sepertinya menyampai pesan dalam sebuah botol yang terlempar dalam kebimbangan gelombang tengah laut.

Terus ku laju perahuku, tanpa badai mengikuti, bahkan ketakukan tlah ku tanggalkan bersama jutaan plankton yang tlah ku jabat erat jemari hatinya. Kini dengan dayung yang terkayuh bersama energi hati, terus melaju, dengan mata satu tuju. Penunjuk mata angin pun tlah hanyut terbuang, kini bersama petunjuk Tuhan kan ku raih dataran baru. Dan misterinya yang tanpa aku tau. Namun aku melaju tanpa ragu dan malu, karena laju, perahu terus melaju, ke dermaga takdir tanpa berlalu.
Dermaga Takdir Dermaga Takdir Reviewed by Fitroh Kurniadi on Oktober 17, 2014 Rating: 5
Diberdayakan oleh Blogger.